Penerbitan di Indonesia

Penerbitan di Indonesia – Membahas mengenai menulis buku, maka tidak akan lepas dari peran penerbit. Penerbit adalah lembaga yang bekerja memproduksi suatu buku atau media cetak sehingga tulisan penulis bisa dinikmati pembaca. Bisa dibilang bahwa kecerdasan suatu bangsa ditentukan oleh penerbit-penerbit yang ada di dalamya. Sebab, melalui tangan penerbit yang mencetak puluhan buku atau media cetak yang berguna dapat menggerakkan masyarakat di negara tersebut. Sementara kemajuan suatu negara salah satunya juga dinilai dari masyarakatnya pandai dan cerdas. Dalam menuju kepandaian sendiri tak lepas dari peran sebuah buku sebagai media fasilitas penggerak.

Akan tetapi di era digital seperti sekarang dimana segalanya bisa diakses dengan bentuk softfile, pertanyaannya apakah buku cetak masih punya tempat dihati pembacanya? Lantas, bagaimana kondisi penerbitan yang ada di Indonesia sekarang? Berikut ini adalah penjelasannya. http://162.214.145.87/

1. Awal Mula Penerbit

Bicara mengenai dunia penerbitan Indonesia sebenarnya sudah ada sejak jaman sebelum penjajahan. Penerbitan buku tentu tidak akan lepas dari budaya tulis menulis nusantara. Pada masa tersebut, khazanah perbukuan masih berupa naskah-naskah yang ditemukan dalam bentuk buku maupun kumpulan lembaran daun lontar yang ditulis tangan. Materi yang ditulis pun beragam mulai dari naskah resmi kerajaan (perjanjian, keputusan raja), karya sastra, babad (sejarah), hingga ayat-ayat suci.

Penerbitan di Indonesia

Sementara, penerbitan yang ada di Indonesia yang sebenarnya dimulai pada Abad yang ke 17 ketika penjajahan VOC datang ke bumi Indonesia yang membawa mesin cetak. Dengan adanya mesin cetak, VOC Belanda dapat mempublikasikan berita mereka melalui berbagai macam produk. Mulai dari pamphlet, brosur, koran dan majalah.

Pada akhir abad yang ke 19, terutama di Jawa, tumbuh penerbit dan percetakan milik orang Tionghoa peranakan dan Indo-Eropa yang menerbitkan sekitar 3000 judul buku, pamflet, dan terbitan lainya sebelum kemerdekaan. Terbitan mereka terutama buku-buku cerita di dalam bahasa Melayu Tionghoa atau Melayu pasar. Sementara percetakan milik Indo-Eropa sebagian besar menerbitkan karya-karya terjemahan dari Eropa ke dalam bahasa Melayu.

Dunia perbukuan dan penerbitan buku terus berkembang, hal tersebut dapat dilihat dari kemunculan Komisi Bacaan Rakyat tersebut salah satunya karena pemerintah kolonial menganggap novel-novel terjemahan dari kalangan Indo-China dan bumiputra rendah mutunya, karya populer picisan yang bisa merusakkan mental bumiputra.

Pada tahun 1917 komisi tersebut berganti nama menjadi Balai Poestaka dan mulai mencetak ratusan karya, mulai dari buku dalam berbagai bahasa. Dari sinilah muncul banyak karya sastra yang melejit hingga pada saat ini, seperti Siti Norbaja karya Marah Rusli, Azab dan Sengsara karya Merari Siregar, dan masih banyak lainnya. Setelah empat tahun lamanya, Balai Pustaka akhirnya mempunyai mesin cetak sendiri. Mulai pada saat itu, Balai Pustaka mulai meluncurkan terjemahan novel-novel Eropa ke dalam bahasa Melayu. Ini menjadi titik awal perkembangan kesastraan di tanah Hindia sendiri.

Pada masa penjajahan Jepang pun penerbitan terus tetap berjalan. Hanya saja penerbitan buku dan seluruh jenis media yang ada digunakan oleh para tentara Jepang untuk kepentingan propaganda. Hingga pada akhirnya Indonesia mencapai kemerdekaan di tahun 1945, Balai Pustaka mulai untuk menerbitkan buku nasional seperti Pustaka Antara, Pustaka Rakyat, Endang, dan beberapa buku lainnya. Pasca kemerdekaan tahun 1950, Balai Pustaka berhasil untuk menerbitkan dan mencetak ulang 128 judul buku dengan tiras 603.000 ekslempar.

Di tahun yang sama juga mulailah bermunculan penerbit swasta nasional. Sebagian besar berada pada pulau Jawa dan selebihnya di Sumatera. Pada awalnya, mereka bermotif politis dan juga idealis. Mereka tergerak untuk mengambil alih dominasi para penerbit Belanda yang sesudah penyerahan kedaulatan di tahun 1950 masih diijinkan beroperasi di Indonesia. Pada tahun 1955, pemerintah Republik Indonesia mengambil alih dan juga menasionalisasi semua perusahaan Belanda yang ada di Indonesia.

Kemudian masuk pada masa orde baru, seputar penerbitan buku mengalami perubahan kembali. Hal yang paling menonjol dalam masalah perbukuan selama Orde Baru ialah penerbitan buku yang harus melalui sensor dan persetujuan Kejaksaan Agung. Tercatat buku-buku karya Pramudya Ananta Toer, Utuj Tatang Sontani dan beberapa pengarang lainnya, tidak dapat dipasarkan karena mereka dinyatakan terlibat G30S atau PKI.

Setelah itu memasuki era reformasi tahun 1999 yang dianggap sebagai tahun terbukanya pintu kebebasan di segala bidang mulai dari sosial, ekonomi, dan politik, tanpa kecuali politik perbukuan. Pada tahun tersebut pula pemerintah mencabut peraturan Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers. Dengan kebijakan baru itu, semakin banyak orang ataupun lembaga mengekspresikan pendapatnya, salah satunya dengan cara menerbitkan buku.

Buku-buku berbagai genre samakin banyak untuk ditemui. Selain buku pelajaran, terdapat juga buku dengan tema motivasi, fiksi ilami, fiksi petualangan, biografi, hingga buku elektronik yang mulai marak di era digital seperti saat ini.

2. Lima Pilar Industri Buku di Indonesia

Berdasarkan kenyataan di lapangan, penerbitan buku yang ada di Indonesia mempunyai 5 pilar penting. Pilar-pilar ini yang membuat para pembaca dapat menikmati buku hingga hari ini. Yang pertama, penerbit. Sebenarnya tidak ada yang tahu persis ada berapa jumlah penerbit di Indonesia. Akan tetapi setidaknya ada 783 penerbit di Indonesia yang tersebar di Jawa dan Sumatera. Fenomena ini menunjukkan bahwa indutri perbukuan yang ada di Indonesia masih ada akan tetapi tidak merata.

Penerbitan di Indonesia 1

Kedua, percetakan. Industri penerbitan fiksi maupun nonfiksi tak dapat dilepaskan dari bisnis percetakan. Kedua industri ini tampak sama akan tetapi berbeda. Walau sudah ada penerbit yang mempunyai percetakan sendiri dengan alasan lebih ekonomis, akan tetapi kebanyakan masih menggunakan pihak percetakan luar dengan alasan biaya produksi yang lebih ramah kantong bagi pemula.

Ketiga, distributor. Ada tiga jenis distributor yang ada di Indonesia. Pertama ialah distributor yang dijalankan oleh penerbitan itu sendiri. Kedua yaitu distributor yang mengambil buku dari penerbit-penerbit ke toko buku dan pembaca. Ketiga ialah toko buku tyang menjual ke konsumen.

Keempat, toko buku. Toko buku mempunyai peran dalam penyebaran buku. Konsumen dapat langsung memilih buku yang ia baca dan beli di sana. Sayangnya pada perkembangannya, toko buku semakin menyusut peminatnya. Penyusutan lebih banyak diakibatkan oleh tak adanya penegakan hukum terhadap penerbit yang secara langsung memasarkan buku ke konsumen sehingga menyebabkan persaingan antar toko buku mungkin justru melemah. Tetapi persaingan dengan jaringan distribusi penerbit justru banyak sekali terjadi.

Kelima, konsumen atau pembaca. Permasalahan yang ada di Indonesia ialah minat baca masyarakatnya yang masih rendah. Hal tersebut diperkuat dengan kajian Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan juga Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO), dari 1.000 orang Indonesia, hanya satu orang yang punya minat baca tinggi. Satu buku rata-rata dibaca oleh lima orang. Kondisi tersebut menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan minat baca terendah dari 52 negara di Asia Timur.